More Than Everything [Chapter 1]

MTERekap from INDO FF

Poster and Storyline by Kimleehye19

Main Cast: Park Jiyeon | Luhan | Chorong | Minho

Other Cast: Find out by yourselves

Genre: Romance, Hurt/Comfort, AU | Rating: General | Length: Multichapter

Enjoy my fanfiction

Sorry for typos, Leave Comment/ like/ vote please…

Brukk!

Seorang yeoja melempar tasnya begitu saja tanpa peduli tasnya akan baik-baik saja atau tidak. Dengan menggenggam ponsel yang menempel di teling kirinya, yeoja itu terus saja berceloteh.

“Ah, ne oppa. Aku dan Chorong eonni akan segera ke sana setelah menyelesaikan urusan ini. Annyeong…” Jiyeon menutup telponnya lalu mencari eonni-nya yang pergi entah kemana. “Eonni! Neo eodiseo? Yaak, Chorong eonni! Jangan kemana-mana dulu. Ada yang ingin aku sampaikan.” Jiyeon mencari Chorong di seluruh penjuru rumah. Hasilnya nihil. “Kemana Chorong eonni? Apa mungkin ada yang menculiknya? Tapi siapa juga yang mau menculiknya?” Jiyeon berbicara sendiri sambil menyiapkan tas ranselnya.

“Yaak Jiyeon-a!” panggil Choronv yang sudah berdiri di samping Jiyeon.

“Omo! Eonni, kau selalu mengagetkanku. Aku bisa jantungan. Oh ya eonni, dari tadi aku tidak melihat appa.”

“Appa di ruang kerjanya. Kau mau kemana?”

“Nega? Busan.” Jiyeon tersenyum senang. “Eonni, kau juga harus ikut.”

“Mwo?”

“Aku telah berjanji pada Minho oppa kalau kita akan ke sana. Jadi cepatlah bersiap-siap, eonni.”

“Mworago? Yaak, kau menjengkelkan sekali. Memangnya mau ke sana naik apa? Kita kan tidak bisa nyetir mobil.”

“Ah, iya. Itu semua karena appa yang tidak membiarkan kita.belajar menyetir. Aish menyebalkan sekali. Zaman sekarang tidak bisa menyetir, ah, benar-benar memalukan.” Jiyeon sedang berpikir keras. “Ah, aku punya ide. Naik bus eonni.”

Akhirnya Jiyeon dan Chorong pergi ke Busan naik bus. Mereka berdua tidak pernah diizinkan belajar menyetir. Meskipun memiliki banyak mobil, bagi Jiyeon dan Chorong sama saja tidak punya mobil. Alhasil, angkutan umumlah yang selalu mengantar kemana pun mereka pergi.

“Appa menyebalkan sekali.” Chorong menyeleksi barang-barangnya yang akan dibawa ke Busan.

“Eonni, mungkin appa tidak ingin kita celaka.” Jiyeon baru saja memasukkan berbagai macam barangnya ke dalam koper kecil miliknya.

“Tapi bukan seperti itu caranya, bukan dengan tidak mengizinkan kita belajar mengendarai mobil. Kalau begini kita sendiri yang repot.”

“Kau benar, eonni.” Jiyeon manggut-manggut membenarkan ucapan eonni-nya.

“Ah, kau ini selalu loading lama.”

“Berapa jam perjalanannya eonni?”

“Nan mollaseoyo… Sudahlah, ayo cepat. Kau lelet sekali, Jiyeon-a.”

“Bukankah aku sudah selesai berkemas dari tadi… Ah eonni selalu saja mengerjaiku,” gerutu Jiyeon.

Chorong dan Jiyeon tiba di terminal Seoul, menunggu bus yang akan membawa mereka ke Busan. Jiyeon adalah tipe orang yang tidak sabaran apalagi harus menunggu lama. Sudah 30 menit mereka duduk manis di ruang tunggu namun bus nya belum waktunya berangkat.

“Aiish, aku sudah jamuran di sini, eonni.” Jiyeon berkeluh.

“Jika saja aku ini pohon, aku malah sudah tumbuh, berdaun lebat dan berbuah, sangking lamanya,” sahut Chorong.

10 menit kemudian mereka berdua berangkat dengan bus yang lama ditunggu di terminal. Cukup banyak penumpang di dalam bus itu. Kebanyakan dari mereka adalah yeoja paruh baya yang mungkin ingin menguunjungi sanak keluarga di Busan.

Sampai di Busan.

Jiyeon dan Chorong merasa agak sangsi. Apa benar mereka sudah sampai di Busan? Apa ternyata kota Busan memang seperti itu? Akhirnya Jiyeon memutuskan untuk menghubungi Minho dan memintanya untuk menjemput di terminal. Tak memakan waktu lama, bus yang mereka tumpangi tiba di terminal. Jiyeon dan Chorong sempat bingung kemana mereka harus melangkah, karena jujur saja, ini kali pertamanya mereka menginjakkan kaki di kota Busan.

Setelah berjalan kesana kemari, akhirnya kakak beradik itu menemukan ruang tunggu yang terlihat ramai. Jiyeon mencari tempat duduk. Sedangkan Chorong membawa barang bawaan mereka berdua.

“Eonni, kita tunggu oppa di sini.”

Chorong hanya menuruti yeodongsaengnya. Ia memang tipe orang pendiam dan cuek. Berbeda dengan Jiyeon yang sedikit lebih cerewet. Tapi pada dasarnya mereka sama-sama pendiam. Menurut Jiyeon, jika mereka sedang bersama maka salah satu harus aktif bicara. Kalau tidak, pasti akan saling diam seperti sedang gencatan senjata.

Satu jam lebih mereka menunggu. Jiyeon tertidur di bangkunya. Sedangkan Chorong lebih memilih ber-sns dengan teman-temannya. Senyum-senyum sendiri, ngomong sendiri, dan meluapkan ekspresi lainnya hingga banyak yang menatap aneh padanya.

“Chorong-a!” panggil seseorang.

Merasa namanya dipanggil, Chorong langsung menoleh ke arah kanannya. Ternyata Minho sudah datang.

“Eoh, oppa. Kau sudah datang.”

“Ah, ne. Mian lama menunggu. Mobilku tadi mengalami sedikit kecelakaan saat menuju kemari.”

“Neo gwaenchana?” tanya Chorong yang terus memperhatikan Minho.

“Gwaenchanayo. Yang terluka bukanlah aku, tapi mobilku.” Minho tersenyum karena telah berhasil membuat yeoja yang berdiri di depannya tersenyum. “Dimana Dino?”

“Dia tidur.” Chorong menunjuk ke arah Jiyeon yang sedang tidur di bangkunya.

“Aish, dasar tukang tidur!” seru Minho yang sengaja mengeraskan suaranya agar Jiyeon bangun. Namun hasilnya nihil.

“Biar aku saja yang membangunkan.”Chorong mendekatkan wajahnya ke wajah Jiyeon.

“Jiyeon-a, jika kau tidur terus, akan ada orang psikopat yang membawamu.”

Spontan Jiyeon bangun dari tidurnya. Wajahnya benar-benar lucu saat bangun. Hal itu menbuat Minho tertawa terbahak-bahak.

“Chanana oppa kau sudah di sini?”

“Eoh. Wae? Keunde, kenapa hanya Chorong yang bisa membangunkanmu, Dino-a?”

“Molaseoyo..” Jiyeon merapikan rambut panjangnya.

“Jika Chorong tidak membangunkanmu, pasti sudah ada psikopat yang akan membawamu.”

“Aish, menyebalkan! Eonni, kau pintar sekali selalu berhasil membangunkanku.”

“Yaak, sudah berapa tahun kau jadi adikku, eoh? Pabo…”

“Hehe eonni, kalau kau marah nanti cepat tua.”

Tak berapa lama kemudian Jiyeon, Chorong dan Minho meluncur ke apartemen Minho dan saudaranya, Tiffany Hwang.

Sementara itu di tempat lain, seorang namja muda tengah disibukkan dengan kegiatan meeting yang sudah menjadi kegiatannya sehari-hari. Namja itu merupakan putra tunggal seorang chaebol di Busan. Namja keturunan China-Korea itu kadang terlihat menyedihkan karena merasa kesepian. Kesehariannya hanya disibukkan dengan lembaran kertas dan uang. Berpikir dan hanya berpikir.

“Eoh, Luhan hyung, neo eodikka?” tanya Baekhyun yang baru saja tiba di kantor Luhan, tapi Luhan malah ingin meninggalkan kantor. “Bukankah saat ini tidak ada meeting?” Namja yang diajak bicara tak menghiraukan. Akhirnya Baekhyun mengikuti kemana Luhan pergi.

“Oppa, kenapa kau ngebut sekali?” tanya Jiyeon yang takut terjadi apa-apa jika Minho nengendarai mobilnya terlalu cepat.

“Oppa, sebaiknya kurangi kecepatanmu,” timpal Chorong yang sama takutnya dengan Jiyeon.

“Yaak, oppa, aku belum memiliki namjachingu, kalau terjadi apa-apa pada kita bagaimana?” Jiyeon terus saja mengoceh.

“Kalian tenang saja. Duduk dan diam lebih baik. Tidak akan terjadi…” Minho belum selesai bicara tiba-tiba ia dikagetkan dengan keberadaan mobil yang melaju santai tepat di depannya.

“Oppaaaaa!!” teriak Jiyeon dan Chorong bersamaan.

Minho mengerem dengan sangat hati-hati agar mobilnya tidak terbalik. Bagian depannya berhasil menggores mobil mewah yang ditabraknya.

“Aigoo, siapa yang berani menjalankan mobilnya sebegitu cepatnya di daerah ini?” Baekhyun kesal karena dia dan Luhan hampir ditabrak mobil yang melaju cukup kencang. “Hyung, aku lihat mobilmu dulu.”

Luhan hanya diam saja. Baginya mobil yang tergores bagian depannya tidak masalah karena mobilnya yang lain masih banyak.

Minho turun dari mobil, diikuti Jiyeon dan Chorong yang masih gemetaran karena takut kecelakaan.

“Waah, oppa, ini benar-benar mobil mewah,” ungkap Jiyeon yang masih.menatap mobil Lamborghini di depannya.

“Eoh,” jawab Minho singkat.

“Yaak, siapa yang menyetir mobil itu!” teriak Baekhyun yang menunjuk mobil Hyundai milik Minho.

“Tamatlah riwayat kita…” lirih Chorong.

Jiyeon menggigit bibir bawahnya. “Oppa…”

“Tenanglah…” lirih Minho.

Baekhyun melihat goresan parah bekas tabrakan tadi. “Yaak, ige mwoya?! Kalian, apa kalian tidak tau kalau ini mobil mahal, eoh?” Baekhyun pun mengelus bagian mobil Luhan yang tergores itu.

Jiyeon merasa tersinggung atas ucapan namja yang berpakaian resmi dengan setelan jasnya itu. Dengan nada yang tidak kalah tinggi, Jiyeon berseru, “Ahjussi! Kau tidak perlu berteriak seperti itu! Mata kami masih normal. Jadi tidak perlu kau tunjukkan kalau tlitu mobil mewah!” Baekhyun malah melotot karena dipanggil ‘ahjussi’ oleh Jiyeon yang umurnya tidak jauh lebih muda darinya.

“Ahjussi?” Baekhyun tambah kesal.

“Yaak, Jiyeon-a, keumanhae.” Chorong menyenggol lengan Jiyeon untuk menyuruhnya berhenti bicara. Chorong harap-harap cemas

“Mianhamnida,” ucap Minho lirih dengan gerakan membungkuk.

“Mian? Hanya itu?” Baekhyun semakin marah.

Melihat pemandangan beberapa orang yang berdiri di depan mobilnya membuat Luhan akhirnya keluar dari mobil.

“Baekhyun-a, keumanhae.” Luhan menepuk pundak Baekhyun dan menyuruhnya kembali ke mobil. Ketika Luhan hendak menatap Minho, tiba-tiba matanya bertemu pandang dengan Jiyeon. “Maafkan perkataan temanku tadi. Kau tidak usah mengganti apapun. Aku tidak apa-apa,” kata Luhan dengan datar.

“Hyung!”

“Baekhyun-a, kajja!” Luhan kembali ke mobilnya begitu juga Baekhyun. Kemudian mobil itu menjauh dari ketiga orang yang masih terpaku di pinggir jalan.

“Ige…” Jiyeon berdecak kesal.

“Kenapa yang marah malah temannya? Sedangkan pemilik mobil hanya diam saja.”

“Kalian tahu siapa mereka?” tanya Minho datar.

“Anhi,” jawab Jiyeon.

Pemilik mobil itu adalah putra dari chaebol terkaya di Busan.

“Nde??” seru Jiyeon dan Chorong bersamaan.

“Omo…

Sesampainya di apartemen Minho, mereka disambut oleh Tiffany, saudara Minho. Jiyeon memuji apartemen itu karena barang-barangnya sederhana tapi tertata dengan sangat rapi. Pada sore harinya, Jiyeon, Chorong, Minho dan juga Tiffany menikmati makan malam di ruang makan. Tiffany yang memasaknya. Lagi-lagi Jiyeon memuji sesuatu. Ia menyukai masakan Tiffany. Lain kali, mereka harus makan masakan Jiyeon karena Jiyeon hobi memasak.
Keesokan harinya, Jiyeon ikut Tiffany membeli kebutuhan dapur di pasar tradisional. Jiyeon yang belum pernah ke pasar heran melihat para pedagang yang berjualan di sana banyak sekali.
“Waah, daebak! Ternyata pasar tradisional seperti ini. Aku baru tahu.” Jiyeon tak henti-hentinya mengamati sekelilingnya. “Eonni, kau mau belanja apa saja?”

“Kau ingin tahu? Lihat saja nanti.” Tiffany meminta Jiyeon terus mengikutinya, kalau tidak, yeoja itu pasti akan tersesat.
Setelah berbelanja dengan Tiffany, Jiyeon dan Chorong membantunya menyiapkan makan siang. Mereka jarang membeli makanan di luar karena memang untuk berhemat, mengingat Minho dan Tiffany tidak mempunyai keluarga lagi. Saat makan malam, Jiyeon banyak bercerita tentang kuliahnya dan ternyata mendapat perhatian dari Tiffany dan Minho. Hal itu membuat Chorong merasa risih karena sebenarnya Chorong suka sama Minho namun tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan Minho tidak menyadari hal itu.

Suatu malam, saat semua berkumpul menonton tv, Jiyeon dan Minho bermain kartu. Mereka terlihat asyik dengan kegiatan itu. Lagi-lagi Chorong merasa sakit di hatinya. Ia berusaha menghibur diri dengan menonton acara reality show bersama Tiffany.

Hari ini Minho tidak pergi bekerja, ia mendapat jatah libur satu hari dari perusahaan. Hal ini membuat Chorong merasa senang karena dia dapat menikmati waktu bersama Minho.
“Mumpung  masih di sini, aku ingin jalan-jalan sepuasnya. Oppa, ayo kita jalan-jalan,” ajak Jiyeon yang mendapat respon positif dari Minho. Apapun yang Jiyeon minta, Minho segera memenuhinya. “Eonni, ayo, kau harus ikut,” ajak Jiyeon pada Chorong yang asyik menonton acara tv.

Sore itu Jiyeon, Minho, dan Chorong pergi ke taman kota untuk mencari udara segar dan mencuci mata dengan pemandangan yang indah. Tidak hanya menonton tv di rumah. Mereka bertiga berfoto selca bersama, makan es krim, makan teokbokki dan bersenda gurau.
Andai saja hanya Chorong dan Minho yang melakukan kegiatan asyik itu, pikir Chorong. Saat berjalan di pinggir taman, tiba-tiba kaki Jiyeon terkilir. Hal itu menyebabkan ia harus berjalan dengan tertatih-tatih. Karena hari sudah malam, akhirnya Minho berinisiatif menggendong Jiyeon di punggungnya. Mereka berdua bercanda dan tertawa bersama, seakan lupa bahwa di sana maish ada Chorong. Chorong yang berjalan di belakang, melihat mereka berdua dengan sedih. Hatinya pilu. Hingga tak terasa airmata bergulir keluar dari mata indahnya.
“Eonni, kenapa jarakmu jauh sekali? Palli palli, eonni!” teriak Jiyeon yang menoleh ke belakang melihat eonni-nya. Secara tak sengaja, ia melihat Chorong menangis. Ada apa dengan eonni? tanya Jiyeon dalam hati. “Oppa, kita istirahat sebentar di sini ya. Kau pasti lelah karena menggendongku. Oppa, maukah kau membelikan kopi untuk eonni? Kasihan eonni kedinginan.”

“Araseo. Kalian tunggu di sini.” Minho berjalan menuju mini market terdekat dari tempat itu. Ia berjalan semakin menjauh untuk membeli pesanan Jiyeon.
Jiyeon mendekati Chorong. Dia bingung, kenapa eonni-nya tiba-tiba terlihat muram? “Eonni, apa kau sakit? Kenapa wajahmu terlihat musam? Kau kedinginan?” tanya Jiyeon.
Chorong mendongakkan kepalanya. Jiyeon syok melihat eonni-nya.

“Eonni, waegurae?”

Chorong mendongakkan kepalanya. Kini tampak jelas airmatanya mengalir semakin deras. Jiyeon kaget melihat eonni-nya menangis.

“Eonni, waegurae? Apa yang terjadi?” tanya Jiyeon yang hampir ikut menangis.

Chorong belum menjawab. Dia menatap tajam pada Jiyeon yang berdiri di depannya.

“Neo… Nappun yeoja!” cela Chorong pada Jiyeon.

Deg.

Jiyeon bingung dengan situasi ini. Apa yang telah diperbuatnya sehingga Chorong mengatakan hal itu padanya.

“Kenapa kau melakukan itu, eoh? Kenapa kau dekat dengan Minho? Kenapa dia lebih memilih dekat denganmu daripada aku? Apa kau ingin balas dendam?” tanya Chorong dalam tangisnya.

Jantung Jiyeon berdetak semakin cepat. Apa yang terjadi pada eonni-nya?

“Eonni, apa maksudmu? Balas dendam apa?”

“Park Jiyeon, apa kau ingin balas dendam padaku karena appa lebih sayang padaku? Apa ini yang kau gunakan untuk balas dendam? Kau mendekati namja yang aku cintai. Apa sekarang kau sudah puas, eoh?”

“Eonni, apa maksudmu namja itu Minho oppa?” Jiyeon kaget mendengar pengakuan Chorong. Jujur, sebenarnya ia pun mencintai Minho yang sangat baik padanya. “Eonni, aku tidak pernah ingin balas dendam padamu. Meskipun appa lebih sayang padamu, menyekolahkanmu hingga ke luar negri, memberikan fasilitas padamu yang tidak aku punya, aku tetap menyayangimu sebagai eonni-ku. Tak peduli seberapa sayangnya appa dan eomma padamu dan juga padaku, aku tetap menyayangi keluargaku meski aku… Meski aku mungkin tidak kalian harapkan di keluarga kita…” Jiyeon menangis. Hatinya pun terluka mengingat perlakuan orangtuanya yang pilih kasih. “Jika kau mencintai Minho oppa, ambillah eonni. Ambillah jika itu yang kau inginkan. Ambillah semua orang yang aku sayangi dariku, eonni. Asalkan kau tidak membenciku.” Jiyeon mengusap airmatanya lalu pergi menjauh dengan tertatih-tatih.

Luhan yang sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, mampir sejenak di taman kota. Ia ingin refreshing sebentar karena seharian bergelut dengan dokumen di kantor. Saat ingin mencari tempat parkir untuk mobil mewahnya, ia melihat seorang yeoja yang sednag berjalan tertatih-tatih. Setelah menemukan tempat parkir, Luhan segera menghampiri yeoja itu yang kini berhenti sejenak untuk beristirahat. Yeoja itu tidak lain adalah Jiyeon yang tengah dirundung kegalauan karena secara tidak sadar ia telah menyakiti eonni yang sangat ia sayangi. Luhan mendekati Jiyeon yang meneteskan airmata. Bukankah yeoja itu yang pernah beradu mulut dengan Baekhyun? Kenapa dia sendirian di sini? Kenapa dia menangis?

Jiyeon bangkit untuk melanjutkan perjalanannya kembali ke apartemen. Ia sengaja memisahkan diri dari Minho dan Chorong. Hatinya telah sakit karena ucapan Chorong tadi. Saat hendak berjalan tiba-tiba kakinya terasa kaku. Akhirnya Jiyeon menghentikan langkahnya dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Bagaimana ia bisa sampai ke halte jika kakinya sakit seperti ini. Jiyeon terduduk lemas, ia memijat kakinya yang terkilir.

“Jeogi, kau kenapa?” tanya Luhan memberanikan diri menyapa Jiyeon.

Jiyeon mendongakkan kepalanya. Ia merasa tidak asing melihat seorang namja yang berdiri di depannya itu. Ketika dia ingat bahwa namja itu pemilik mobil mewah yang pernah ditabrak Minho, ia terpana.

“A, anhiya. Nan gwaenchana.”

“Kakimu kenapa?”

“Tadi terkilir saat menuruni trotoar di pinggir taman. Bukankah kau pemilik mobil mewah yang kemarin?” tanya Jiyeon dengan polos.

“Ah, ne. Kebetulan saat aku memarkirkan mobilku, aku melihatmu berjalan tertatih-tatih. Kau mau kemana?”

“Aku mau pulang.”

“Dengan keadaan seperti ini?” tanya Luhan.

Jiyeon  mengangguk. Mau bagaimana lagi, apakah dia harus menginap di taman, kan tidak mungkin.

Luhan mengantar Jiyeon sampai di halte. Sebenarnya Luhan menawarkan diri mengantar Jiyeon sampai apartemen, tapi Jiyeon menolaknya.

Keesokan malamnya, Jiyeon bersiap keluar untuk mencari udara segar dan menenangkan pikirannya.

“Kau mau kemana dengan dandanan seperti itu?” tanya Tiffany.

“Eoh, eonni, aku ingin jalan-jalan sebentar. Mataku ini cepat bosan.”

“Mau aku temani?” tawar Minho yang baru selesai mandi.

“Anhiya. Aku bisa keluar sendiri.” Jiyeon melirik Chorong yang terpaku di depan layar tv. Jiyeon memakai sepatunya kemudian ia berbalik. “Ada yang mau nitip sesuatu?” tanyanya pada ketiga orang di dalam apartemen itu.

“Belikan teokbokki untukku,” seru Chorong. Akhirnya dia mau buka suara.

Jiyeon berjalan menyusuri jalanan kota Busan. Langkahnya dituntun menuju minimarket terdekat. Dia membeli beberapa kaleng cola dan tak lupa membeli biskuit. Kemudian pergi ke halte naik bis ke taman kota. Sampai di taman kota, Jiyeon membeli beberapa cangkir kopi dan masuk ke dalam taman.

Tak terasa airmatanya jatuh membasahi wajah cantik itu. Jiyeon yang duduk di bangku taman sendirian, mengingat peristiwa semalam. Meski hubungannya dengan Chorong menjadi renggang, ia tak ingin membenci eonni-nya.

“Eonni…” Hatinya terasa sangat sakit. Orang-orang yang ia sayangi kini telah diambil eonni-nya sendiri. “Saranghae eonni. Saranghae Chorong eonni….” Jiyeon makin larut dalam tangisnya. Setelah menghabiskan beberapa kaleng cola dan beberapa kopi, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke apartemen. Namun sebelum itu, ia ingin membeli teokbokki pesanan Chorong.

Semakin malam, jalan raya semakin sepi. Banyak pengendara yang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Saat hendak menyeberang ke warung pinggir jalan yang menjual teokbokki, tiba-tiba Jiyeon dikagetkan oleh teriakan seorang yeoja yang hampir ditabrak sepeda motor. Beruntung Jiyeon dapat menarik yeoja itu ke pinggir jalan. Namun naas, saat hendal kembali menyeberang, Jiyeon tertabrak sebuah mobil box yang melaju dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya terpental 10 meter dari lokasi kejadian. Orang-orang yang berjalan di sekitar TKP berteriak histeris melihat tubuh Jiyeon yang terkapar dengan darah mengalir deras dari tubuh yeoja cantik itu.

Luhan yang sedang dalam perjalanan pulang, dikagetkan oleh kerumunan orang di tengah jalan. Dengan terpaksa ia turun dari mobil untuk meminta orang-orang itu menyingkir. Saat berjalan ke arah kerumunan, ia merasakan kakinya menginjak sesuatu. Sebuah ponsel yang sudah hancur. Lalu pandagannya dialihkan ke pusat kerumunan dan perlahan mendekati orang-orang itu. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia melihat yeoja yang dicarinya kini tergeletak tak berdaya dengan bersimbah darah.

Tanpa diminta, Luhan segera mengangkat tubuh Jiyeon dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Tiba di rumah sakit, Jiyeon langsung dibawa ke ruang operasi. Luhan yang tampak sangat cemas menunggu di depan ruang operasi tak menghiraukan kemejanya yang kotor berlumuran darah Jiyeon. Operasi sudah berjalan satu jam tapi belum juga selesai.

Luhan pov

Oh Tuhan… Tolong selamatkan dia, jagalah dia, kasihanilah dia. Ambillah sesuatu dariku untuk menyelamatkan dia.

Hatiku terasa ngilu melihat yeoja itu tak sadarkan diri dengan berlumuran darah. Pelaku yang menabraknya harus segera ditangkap dan dihukum sebagaimana mestinya. Langsung kuraih ponselku di saku celana. Kutekan nomor pengacaraku. Aku memintanya untuk segera menangani kasus kecelakaan ini. Setelah itu aku melaporkannya ke polisi dengan membawa beberapa orang saksi dan bukti yang ku dapat dari seseorang yang bersedia menolongku.

Aku masih berdiri di depan ruang operasi. Semua urusan tadi kuselesaikan dengan bantuan beberapa orang.

Operasi belum selesai. Kenapa lama sekali? Apa lukanya sangat parah?  Ah, aku tidak sanggup mengingat kronologi kejadian dari seorang yeoja yang bersedia menjadi saksi. Katanya sebelum kecelakaan itu, gadis yang kini sekarat telah menolongnya yang hampir tertabrak sepeda motor. Kini malah dirinya yang ditabrak oleh entah siapa pelakunya.

Luhan pov end.

Di apartemen.

Kenapa Jiyeon belum pulang? Batin Chorong yang mondar mandir di dalam kamar.

“Chorong-a, apa ini dompet Jiyeon?” tanya Tiffany yang baru saja memberesi sofa depan tv.

Chorong keluar, ia melihat dompet Jiyeon utuhh. Hanya uangnya yang berkurang beberapa lembar. Ia tahu berapa uang yang dimiliki Jiyeon karena memang dialah yang memberikan uang pada dongsaengnya itu.

“Kenapa Jiyeon tidak membawa dompetnya?” tanya Tiffany.

“Dia terbiasa dengan membawa uang di sakunya, eonni. Dompetnya sering ditinggal. Keunde, kenapa dia belum kembali. Ini sudah larut malam. Apa dia lupa jalan pulang…” Chorong meremas dompet Jiyeon karena terlalu cemas pada dongsaengnya.

“Sudah terlalu larut malam. Ponselnya tidak aktif. Aku merasa tidak enak…” Minho berusaha berpikir kira-kira dimana Jiyeon berada.

Chorong merasa bersalah. Apa mungkin Jiyeon sengaja tidak kembali karena ia mengira banyak yang tidak menginginkan keberadaannya. Oh Tuhan, selamatkan Jiyeon-ku, pintanya pada Tuhan, dalam hati.

Sementara itu, di rumah sakit, Luhan diserang kantuk yang amat berat. Tubuhnya lemah karena terlalu lelah bekerja dari pagi sampai malam. Ia terduduk lemas menunggu dokter keluar dari ruang operasi. 3 jam ia menunggu hasil operasi akhirnya para dokter keluar.

“Dokter, bagaimana hasil operasinya?”

“Syukurlah operasinya berjan lancar. Kami sangat salut pada pasien. Tubuhnya memang lemah, tapi tekadnya untuk hidup cukup tinggi. Dia mengalami beberapa patah tulang. 2 tulang rusuknya patah, tulang pahanya nyaris patah, lalu tulang selangka mengalami keretakan parah. Hingga saat ini kondisinya masih koma. Jika dalam 2×24 jam ia sadarkan diri, berarti harapannya untuk hidup sangat besar. Namun saat ini kemungkinan hidupnya hanya 30% mengingat luka lain yang diderita pasien. Kami harap anda dapat bersabar. Semoga pasien segera sadar.”

“Gamsahamnida, dokter.”

….

Minho dan Chorong mencari Jiyeon kemana-mana. Sudah berjam-jam mereka mencari Jiyeon. Chorong tak berhenti meneteskan airmata.

“Tenanglah, Chorong-a.”

“Oppa, apa yang aka kau lakukan jika di posisiku? Jika Jiyeon tidak kembali, akulah penyebabnya. Perasaanku tidak enak. Jika dia hanya pergi ke suatu tempat, mungkin aku bisa membujuknya kembali. Tapi jika terjadi sesuatu padanya, apa yang harus aku lakukan?” Chorong terduduk lemas di depan warung teokbokki.

Minho berusaha menanyai beberapa orang di sana. Tiba-tiba penjual teokbokki mengatakan bahwa tadi sekitar jam 9 malam terjadi kecelakaan, sebuah mobil box yang menabrak seorang yeoja cantik yang hendak menyeberang.

Chorong lemas. Dia tidak sanggup lagi berdiri. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Jiyeon pada penjual teokbokki itu. Penjual itu membenarkan bahwa yeoja itulah yang tertabrak mobil box.

Bagai disambar petir, Minho dan Chorong sangat terpukul. Chorong mengeluarkan airmatanya yang makin deras.

“Jiyeon-a” lirihnya.

Penjual itu pun mengatakan bahwa ada seorang namja yang segera membawa Jiyeon ke rumah sakit. Mungkin ia membawanya ke rumah sakit terdekat. Minho segera melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat tapi hasilnya nihil. Pasien itu sudah dirujuk ke rumah sakit besar karena mengalami luka yang sangat parah.

Jiyeon dibawa ke rumah sakit terbaik di Korea yang terletak di kota Seoul. Malam itu juga para tim medis dan Luhan mendampingi Jiyeon menuju Seoul. Luhan tampak kacau. Seorang tenaga medis memberikannya satu stel pakaian karena pakaian Luhan kotor terkena darah. Penampilannya pun acak -acakan.

2 tahun kemudian.

Jiyeon yang baru saja bisa berjalan lagi, kini sedang menikmati pemandangan sungai Han dengan seorang namja yang tidak lain adalah Luhan. Mereka terlihat bahagia meski Jiyeon masih kehilangan ingatannya.

Karena Jiyeon merasa bosan di rumah sendirian setiap hari, akhirnya Luhan pun mengizinkan Jiyeon untuk bekerja sebagai asistennya. Agar ia tak jauh dari Luhan dan Luhan pun dapat menjaga Jiyeon sepanjang hari. Orangtua Luhan tidak keberatan menampung Jiyeon yang masih hilang ingatan itu untuk tinggal di rumahnya. Mereka malah merasa senang karena merasa memiliki anak perempuan.

“Oppa, kenapa acara meeting dengan Park Corporation dibatalkan?” tanya Jiyeon yang masih memeriksa berkas laporan yang baru saja ia kerjakan.

“Awanya meeting itu diadakan untuk.membahas bisnis kosmetik, tapi Park Corporation menariknya dan mengganti dengan bisnis apartemen. Au rasa mereka perlu memikirkan hal ini dengan matang sebelum meeting dengan perusahaan kita. Apa laporannya sudah selesai?” Luhan meminta laporan dari Jiyeon. “Jiyeon-a, kenapa kau mau menyelesaikan laporan ini?” tanya Luhan.

“Aku senang melakukannya, oppa. Kau memberikan kemudahan bekerja padaku. Jadi aku juga harus membantu memudahkan pekerjaanmu.” Jiyeon mengeluarkan senyum termanisnya yang berhasil membuat Luhan semakin terpikat.

Hari ini Jiyeon dan Luhan kembali ke Busan untuk menghadiri pernikahan sepupu Luhan. Setelah acara itu selesai, mereka ingin berkeliling kota Busan karena beberapa bulan terakhir mereka disibukkan dengan kegiatan kantor.

“Oppa, tempat ini…” tiba-tiba Jiyeon memegang kepalanya. Bayang-bayang saat ia menangis sendirian di taman itu muncul perlahan yang membuat lepalanya terasa sangat sakit.

Luhan yangmelihat Jiyeon memegang kepalanya dan kesakitan sangat khawatir.

“Jiyeon-a, gwaenchana?”

“Ah, appo…”

“Jangan kau paksakan, Jiyeon-a. Jangan kau paksakan untuk mengingatnya jika terasa sangat sakit.” Luhan memeluk Jiyeon yang masih memegang kepalanya.

Di tempat lain, Chorong sibuk mengurus bisnis kerja samanya dengan perusahaan China di bidang kosmetik. Setelah menarik bisnis ini dari XLH Corporation, ia yakin bahwa bekerja sama dengan perusahaan China itu lebih menguntungkan. Sedangkan kerjasamanya dengan XLH Corporation telah diganti dengan bisnis di bidang apartemen meskipun masih pending.

“Chorong-a, istirahatlah.” Minho meminta Chorong untuk segera istirahat.

“Gwaenchana, oppa.”

Chorong belum menyatakan perasaannya. Ia tak berani menyatakannya sebelum Jiyeon benar-benar kembali. Karena rasa egoisnya, Jiyeon hilang sampai sekarang.

“Oppa, Luhan oppa! Neo eodiseo?” Jiyeon mencari Luhan karena ingin mengajaknya jalan-jalan lagi sebelum kembali ke Seoul.

“Kau mencariku?” Terdengar suara Luhan dari kejauhan.

Jiyeon terkejut melihat penampilan Luhan yang sangat sangat tampan dan keren.

“Waaah daebak! Luhan oppa tampan sekali.”

“Annyeoooong…” Baekhyun datang dengan pakaian yang sama kerennya dengan Luhan.

“Yaak, Baeki oppa, neo eodikka?”

“Rahasia.” Baekhyun memasang senyum lebar hingga barisan giginya kelihatan.

Jiyeon merasa curiga pada kedua namja itu.

“Yaak yaak, ada apa dengan ekspresi itu?” seru Baekhyun yang telah sadar bahwa Jiyeon menatapnya tajam.

“Apa kalian mau pergi kencan?” tanya Jiyeon polos.

“Nde? Kencan? Dengan Baekhyun?” Luhan membelalakkan matanya.

“Anhi… Yaak, Jiyeon-a, kau jangan salah mengira gitu. Aish, aku masih normal. Mana mungkin aku kencan dengan namja.” Baekhyun berlagak merapikan bajunya.

“Lalu, kalian mau kemana?” tanya Jiyeon lagi.

“Kami mendapat tugas dari appa untuk bertemu dengan partner dari Jepang. Selaku wakil direktur, aku harus mematuhi appa. Ini juga tanggungjawabku,” jelas Luhan.

“Lalu kenapa kalian ekspresi kalian seperti itu?” tanya Jiyeon untuk kesekian kali.

“Yaak! Yeoja menyebalkan.”

Jiyeon mengerucutkan bibirnya.

“Oh ya, nanti sepupuku akan datang untuk menemanimu. Namanya Amber. Kau akan aman bersamanya.” Luhan mengacak rambut Jiyeon dengan sayang. “Kami berangkat Jiyeon-a.”

“Ne, cosimi heaji, oppa.” Mau berangkat meeting saja seperti mau berangkat wamil, pikir Jiyeon.

Setelah mengunci pintu depan rumahnya, Jiyeon menyalakan tv dan mencari acara yang bisa membuatnya tertawa. Sejak kunjungannya ke taman yang pernah ia kunjungi sebelum kecelakaan itu, ingatan Jiyeon berangsur-angsur kembali namun masih sekitar 20%. Ia ingat bahwa nama marganya adalah Park. Jadi namanya adalah Park Jiyeon. Dalam ingatannya ada satu nama lagi, mungkin saudara kandungnya. Jiyeon tidak ingin memaksakan otaknya bekerja sangat keras memutar ingatan yang hilang.

Ting tong…

Bel pintu rumah berbunyi. Mungkin itu sepupu Luhan oppa, pikirnya. Setelah membuka kunci, dan daun pintu bergeser, betapa terkejutnya Jiyeon. Seorang namja tak dikenal sedang bertamu di saat ia sendirian di rumah.

“Nu, nuguseo?” tanya Jiyeon dengan terbata-bata karena syoknya. Ia pikir itu Amber, ternyata orang yang tidak dikenal.

“Jiyeon-a,” panggil namja itu lirih. Namja tampan dan tinggi itu tidak laib adalah Minho yang tidak sengaja melihat Luhan dan Barkhyun keluar dari rumahnya dan melihat Jiyeon yang menutup pintunya dari dalam. “Kau benar-benar Jiyeon?” tanya Minho yang mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia tak percaya bahwa kini Jiyeon berada di hadapannya.

Jiyeon hanya mengangguk. Ia tak berani mengeluarkan suara. Jiyeon melihat mata Minho yang tiba-tiba berubah berkaca-kaca.

“Nuguya?” tanya Jiyeon lagi.

“Kau lupa padaku, Jiyeon-a?”

Jiyeon terlihat bingung. Meski ingatannya sudah 20% kembali, namun dalam bayangan ingatan itu tidak ada wajah Minho.

“Mi, mian. Aku tidak mengingatnya.”

Spontan ekspresi wajah Minho berubah kecewa. Kemudian dia mengeluarkan sebuah foto dan menunjukkannya pada Jiyeon.

“Aku tidak tahu bagaimana harus bertanya. Jika kau bukan Jiyeon yang aku cari, apakah kau pernah bertemu dengan yeoja ini?” Minho menunjuk foto Jiyeon. “Lalu jika kau Jiyeon yang aku cari, apa kau juga tak mengingat yeoja ini?” Kali ini Minho menunjuk gambar Chorong. Foto itu adalah foto selca Jiyeon dan Chorong yang diambil sebelum mereka pergi ke Busan.

Melihat gambar Chorong, benang-benang ingatannya mulai meluruskan diri. Keping-keping ingatan mulai menyatu membentuk suatu ingatan yang berhasil membuat kepala Jiyeon terasa amat sakit. Jiyeon memegang kepalanya. Ia masih dalam keadaan sadar. Terbayang wajah Chorong yang tersenyum padanya. Tiba-tiba Chorong menangis.

Jika itu yang eonni inginkan maka ambillah, eonni. Ambillah Minho oppa. Agar kau tahu bahwa aku sangat meyayangimu dan tak ingin kehilanganmu…

Kata-kata itu terngiang dalam ingatannya.

Belikan aku teokbokki.

Itu kata terakhir dari eonni-nya.

Eonni… Eonni… Eonni waegurae?

Mata Jiyeon mengerjap-ngerjap, mengingat eonni-nya.

“Eonni…” gumamnya lirih namun masih dapat didengar oleh Minho. Airmatanya menetes. “Eonni… Chorong eonni…” lirihnya dengan banjir airmata. Jiyeon mendongakkan kepalanya melihat Minho. Ekspresi wajahnya berubah seketika.

Tbc

2 thoughts on “More Than Everything [Chapter 1]

  1. ooohh, cpat bnget sih jiyeon ketemu ama minho
    haaaa
    coba ingatan jiyeon blum pulih, jd’n minho ama chorong ad ush bet ngingatin jiyeon ???

    yaaakk, chorong jhat bnget sih ??
    pdhl jiyeon tlus syng ama chorong
    hrus’y chorong yg mengalah klu emg dy syng ama jiyeon
    apa lg mengingat sama penderitaan jiyeon selama ini

    yaaaahh, semoga luhan cpat bw jiyeon pergi
    sblm kembali k keluarga park

    next part

    Like

Give Your Response Juseyo...